KETIKA INVESTASI MENYENTUH RANAH SUCI ALAM RINJANI

Oleh: Lalu Eri Wiradana, Mahasiswa Magister Hukum Pidana, Universitas Muhammadiyah Mataram
Mataram — Rencana pembangunan kereta gantung menuju Gunung Rinjani, Lombok, NTB, kian menjadi sorotan publik. Proyek infrastruktur wisata ini disebut-sebut sebagai bentuk modernisasi akses wisata menuju puncak Rinjani. Namun di balik narasi pembangunan dan investasi, tersimpan sejumlah pertanyaan mendasar tentang keberlanjutan ekologi, keadilan sosial, dan makna spiritual alam.
Gunung Rinjani bukan sekadar gunung — ia adalah cagar alam, ruang sakral masyarakat adat, dan sumber penghidupan bagi ratusan porter lokal yang selama ini menggantungkan hidup dari jasa pendakian.
Siapa yang Mendaki, Siapa yang Tersingkirkan?
Selama puluhan tahun, para porter atau pemandu lokal menjadi bagian penting dari pengalaman pendakian Rinjani. Mereka membawa logistik, membantu mendirikan tenda, bahkan sering menyelamatkan pendaki dalam kondisi darurat. Bagi mereka, Rinjani adalah dapur kehidupan.
Namun dengan hadirnya proyek kereta gantung, keberadaan mereka terancam tergantikan. Aktivitas pendakian berkurang, rute pendek dan instan membuat peran porter perlahan dihilangkan. Padahal, pekerjaan ini tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga bagian dari kearifan lokal dan keterlibatan komunitas dalam pariwisata berkelanjutan.
“Jika semua orang naik kereta, siapa lagi yang butuh kami? Kami bukan hanya pengangkut barang. Kami bagian dari Rinjani itu sendiri.”
— Pengakuan seorang porter di Sembalun, Lombok Timur.
Mendaki Bukan Hanya Soal Tujuan, Tapi Proses
Sebagai pribadi yang tidak terbiasa mendaki, saya sekalipun mengakui bahwa keindahan gunung sejatinya bukan pada ketinggiannya, tapi pada perjalanan yang membawa manusia merasakan kedekatan dengan alam. Pendakian membuat manusia menyatu dengan pohon, udara dingin, burung-burung, dan tanah basah yang ia pijak.
Kereta gantung menawarkan kemudahan, namun menghapus proses spiritual dan makna kontemplatif yang menjadi esensi dari pendakian gunung. Ini bukan soal romantisme alam, tapi tentang moralitas manusia sebagai makhluk yang menghormati bumi.
Kritik Hukum: Proyek dalam Kawasan Lindung Wajib Uji Ketat
Gunung Rinjani berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) yang dilindungi oleh:
- UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- PP No. 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam
Pasal 36 UU 32/2009 menyatakan bahwa setiap kegiatan yang berdampak penting wajib memiliki AMDAL. Selain itu, Pasal 69 ayat (1) mengatur larangan merusak lingkungan tanpa dasar hukum yang sah. Jika proyek kereta gantung tidak melalui prosedur AMDAL yang transparan dan partisipatif, maka secara hukum dapat dianggap sebagai pelanggaran administratif bahkan pidana lingkungan.
Ekowisata atau Ekonomi Wisata?
Jika ekowisata dimaknai sebagai kegiatan yang menjunjung pelestarian lingkungan dan melibatkan masyarakat lokal, maka proyek kereta gantung harus dibuka secara partisipatif, dikaji secara independen, dan dievaluasi dari semua sisi. Jangan sampai ini hanya menjadi investasi yang “berwajah hijau” tapi berisi komersialisasi kawasan suci.
Seruan Kritis Demi Cinta Lingkungan
Pembangunan bukan sesuatu yang harus ditolak mentah-mentah. Namun, ia wajib dikritisi jika berdampak negatif pada manusia dan alam. Dalam hal Rinjani, kita tidak hanya berbicara soal izin, tapi soal legitimasi moral dan ekologis.
Jika suara masyarakat adat diabaikan, jika hutan-hutan dirambah, jika porter kehilangan mata pencaharian, jika gunung hanya menjadi objek wisata tanpa rasa, maka kita sedang membangun peradaban di atas kehancuran.
Sebagai mahasiswa hukum pidana yang peduli pada lingkungan, saya mengajak semua pihak untuk:
- Meninjau ulang proyek secara menyeluruh
- Memastikan keterlibatan masyarakat lokal
- Menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian (precautionary principle)
- Memilih konservasi, bukan eksploitasi
Rinjani terlalu indah untuk diserahkan pada kecepatan dan mesin. Ia adalah guru sunyi yang mengajarkan manusia tentang kesabaran, ketekunan, dan penghormatan pada kehidupan.
Catatan Redaksi
Tulisan ini adalah pandangan pribadi Saya ( Red)